Sumber : https://wayansupadno.com/2023/06/24/kalah-memang-melelahkan/
_Ilmu hikmah_
Wayan Supadno.
Kali ini saya coba berkisah kepada kawula muda tentang masa lalu saya yang jadi orang kalah. Karena saya sedang jalan - jalan bersama anak istri di Singaraja Buleleng Bali. Mengenang masa lalu. Di sinilah saya ditempa, di SMA 1 Singaraja. Tertua di Bali, NTB dan NTT. Resmi berdiri 11 November 1950.
Walaupun punya sejarah panjang sejak zaman penjajahan Belanda. Bangunannya nampak kokoh besar 3 lantai. Kerangka Baja WF semua. Nampak tua tapi modern. Itu salah satu sebab saya memilih di SMA 1 Singaraja Bali. Luar biasa di mataku, apalagi setelah saya baca data alumni sebelumnya. Hem.
Sekalipun tahun 1984 saya juga diterima di SMA Banyuwangi, seleksi dengan NEM, kampung kelahiranku. Karena saya lulus SMP dapat urutan ke 2, terbaik. Percaya diri. Ternyata di SMA 1 Singaraja pada semester 1 hanya ranking 47 dari 47 siswa. Benar - benar jadi orang kalah. Terjelek di kelas !
Jadi orang kalah memang sangat melelahkan. Saya tahu persis rasanya. Konkretnya, publik tidak percaya. Imbasnya banyak sekali. Jika ada pertanyaan guru ke siswa, kalaupun saya bisa menjawab benar sekalipun, tetap tidak dipercaya. Diragukan. Bukan jadi tempat bertanya. Sakit.
Menghadapi tatapan mata sinis, sepele dan merendahkan adalah hal biasa. Bagai makanan nasi sayur tiap hari. Apalagi pergaulan sesama remaja. Ibaratnya senang dengan gadis pun, tidak marketable. Tidak feasible. Tidak mendongkrak nama baik gadis tersebut. Bahasa tubuhnya, menolak kontan.
Sama persis perlakuan masyarakat saat SD di Banyuwangi. Tidak naik kelas 2 kali dan gagap berlebihan nyaris bisu. Olokan dan hinaan datang silih berganti. Setiap hari, tiada hari tanpa rajam perlakuan menyakitkan tersebut. Belenggu teramat kuat.
Mau melepas belenggu " nyaris bisu dan bodoh " itu sangat sulit. Tak jarang mengasingkan diri. Karena malu. Beban berat luar biasa. Hingga ikutan menggembalakan kerbau di hutan jati. Nyaris putus asa tidak mau sekolah. Tekanan bathin luar biasa beratnya.
Karena mulai bisa bicara normal saat SMA 1 Singaraja pada semester 2. Saat SMP di Banyuwangi, juga dapat perlakuan tidak nyaman dari guru matematika karena nyaris bisu. Guru membuat soal di papan tulis, tapi dilombakan siapa cepat bisa menjawab. Saya bisa, tapi harus saya tulis ke papan tulis juga di depan.
Guru tidak mau jawaban tertulis, harus dengan bicara lisan. Bahkan sambil mengolok - olok saya. Merendahkan. Saya marah besar. Ngamuk. Saya tantang berantem. Hingga kepala sekolah yang mendamaikan. Merangkul dan memeluk saya sambil nangis. Saya akhirnya bisa terima. Sakit sekali di bathin.
Apa ilmu hikmahnya ?
1. Pengalaman saya di atas, mendidik saya bahwa jika tidak bermutu maka tidak laku. Jika tidak laku, kalah bersaing, terlalu sulit bersinergi dengan yang lain. Apalagi berkompetisi. Tidak diserap oleh pasar. Padahal pasar adalah hakim paling adil objektif.
2. Meyakinkan ke publik atau pasar jika tidak bermutu sangat melelahkan. Apalagi ada data kalah, yaitu raport nilainya terjelek dari lainnya. Apalagi faktanya, tidak bisa bicara normal seperti orang lainnya. Seolah kalau tidak bermutu hanya menyibukkan yang lain saja. Pekerjaan sederhana pun, menghebohkan lainnya.
3. Proses kebangkitan agar publik mengakui dan percaya tidaklah mudah. Butuh pengorbanan ekstra. Butuh perlakuan khusus. Tapi jika masa - masa kesulitan bangkit sudah dilalui lalu sejajar dengan lain mulai relatif mudah dipercaya.
4. Apalagi jika ada data dan fakta bermutu, jadi sangat terpercaya. Konkretnya saat saya SMA kelas 3, bisa ranking 10 dan lulus ranking 1 di kelas, tahun 1987. Apa pun yang saya jawab dipercaya. Jadi tempat bertanya. Sangat dihargai. Jika ada soal sangat dipercaya benar adanya, walaupun mungkin salah. Pergaulan remaja juga marketable, mudah diterima pasar.
Kawula muda, selamat membangun diri agar makin bermutu, agar dipercaya lalu diterima pasar dan jadi tempat pengaduan orang lain di sekitarnya.
Salam 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630